ilustrasi : Suasana Pesantren |
diloby mobilku sudah standby, aku masuk dan intruksikan driverku menuju sebuah daerah, kendaraan berjalan dengan kecepatan sedang dikarenakan kondisi jalan yang tidak mulus, juga karena sengaja aku ingin menikmati keindahan alam sepanjang kanan dan kiri jalan menuju daerah tersebut.
sepanjang perjalananku juga perasaan itu bercampur aduk, antara kerinduan yang berkarat karena sudah terlalu lama, juga perasaan bersalah, karena aku tidak pernah memberikan kabar selama itu, Ah,,, hatiku galau sepanjang jalan, mengahadapi profesor saat ujian S2 aja aku tidak pernah se-nervous ini, aku coba meminta pendapat driverku yang sedari tadi konsentrasi melihat jalan yang berlubang, dan ternyata pendapat diapun sama aku harus tetap kesana karena dengan pertimbangan mumpung hari masih siang, benar juga fikirku. berlahan mobil itu berjalan dengan kepastian arah ke satu lokasi, menyusur jalan yang lebar, kemudian masuk hutan, kesunyian yang tetap sama seperti 20 tahun lalu, keasrian dan kerindangan pepohonannya pun masih belum banyak berubah, oh tapi ada yang berbuah, jalan- ya jalan...sekarang sudah di beton dengan ketebalan kurang-lebih 10cm, dengan lebar jalan kurang lebih 3m, cukuplah untuk sebuah citycar sepertiku. aku lihat disebelah kiri pohon jengkol yang sangat besar, hanya tersenyum aku melihatnya, teringat masa itu saat aku mencoba untuk mengambil buahnya tanpa pemiliknya tahu. ah...terlalu indah masa-masa prihatin itu...
Driver aku minta untuk menghentikan laju mobil yang kami tumpangi, aku coba memperhatikan lokasi sekitar situ untuk memastikan parkir mobilku, satu rumah yang semenjak dulu tak berubah, akhirnya kau pikir ya sudahlah kita parkir di halaman rumah itu saja. aku masih ingat, karena anak gadisnya adalah salah satu geng gadis-gadis yang cukup populer saat itu, dan kami adalah muda-mudi yang memiliki keakraban yang dibatasi dengan ajaran-ajaran aqidah agama. akrab dalam sebuah persepsi dan idealisme serta kekuatan dalil-dalil hadis dan ayat-ayat qur`ani, mereka populer karena memang cerdas, para koordinator santriwati, sementara aku adalah salah satu pengurus dari santriwan yang saat itu mereka mengenalku sebagai seseorang yang memiliki seni menulis kaligrafi dan texting yang indah, hingga pada event-event yang membutuhkan media publikasi dipastikan hasil goresan tanganku, selain itu juga aku memiliki kelebihan dalam berdak`wah kalimat-kalimat yang unik sedikit berbau syair.
mendengar suara mobil sipemilik rumah kelar, aku tahu persis siapa dia, dia adalah pemilik rumah yang ramai dan ramah, namun saat aku menginjakan kakiku ketanah dan membuka pintu mobil aku liat pasti raut wajahnya, terlihat keningnya mengerenyit dan aku tahu pasti dia sedang berusaha untuk menerka atau mengembalikan fikiran-fikiran masa lalu tentang sosok laki-laki yang ada didepannya. aku tidak mau berlama-lama aku hampiri dan ku tanya, Eceu masih ingat saya ?, siapa ya ? jawabnya... saya Ono...Ah..iya... ono ya.. ya Alloh kemana aja...ayo masuk-masuk...setelah sadar ia menyambutku dengan sangat ramah dan ramai sekali, setelah aku berbasa basi dan berkangen ria, aku meminta ijin untuk berkunjung ke rumah sesorang yang aku rindukan selama 20 tahun.
langkah kakiku berjalan pasti, menuju sebuah rumah yang cukup besar dengan desain yang sederhana, dihadapannya berdiri sebuah bangunan Pondok Pesantren yang anggun, rindang dan Indah menurut mataku, langkahku terhenti pass didepan gerbang pondok, aku lihat secara detail tidak ada perubahan yang signifikan hanya cat luar gedung yang berubah warna, dan kamar mandi yang kini lebih rapi dan bersih, aku tersenyum, sendiri, sepi, tak ada suara santri. kemana mereka ? dimana mereka ? mungkin sedang sorogan ku pikir. rasa penasaranku mendorong dan memaksa kakiku untuk masuk, aku berikan salam, tapi lagi-lagi tak ada jawaban, sepi..sunyi.."kemana mereka tanya hatiku".. karena pintu terbuka aku lepas alas kakiku dan melangkah kedalam, aku melihat ke lantai atas, ah..belum ada perubahan ternyata, tapi semua material bangunan terlihat kokoh sama persis seperti dulu. kakiku terus melangkah melihat dan memperhatikan satu-persatu kobong santri mereka tidak ada, aku hanya melihat karung beras di pojokan tembok yang itu jga isinya sudah tinggal seperempat beberapa sarung dan kopiah yang tergantung dalam kapstok tua. aku sadar tidak ada satupun santri didalam aku akhirnya keluar lagi, menuju rumah sederhana itu.
suaraku agak tinggi dengan harapan salamku bisa didengar si empunya. namun lagi-lagi tak ada jawaban dari dalam rumah, padahal beberapa jendela rumah tersebut terbuka. ah ya sudahlah aku berjalan-jalan saja dulu ku fikir, aku balikan badan, baru saja satu langkah, kudengar dari dalam jawaban salam, sepertinya suara perempuan tua, pintupun terbuka. aku berbinar senang dan bahagian saat melihat wajahnya, aku langsung sampaikan salam dan meraih dan mencium tangannya penuh hormat, perempuan tua itu masih terdiam dan melihat aku secara seksama, Umi masih ingat liat saya ? tanyaku ? ia tidak menjawab seperti sedang mengembalikan ingataannya. saya Ono umi... aku membantu mengingatkannya. Ya Alloh... kamu si Ono... iyaa umi...masuk nak, masuk, kamu sehat ? sudah besar sekali kamu sekarang...sekarang tinggal dimana ? sudah punya isteri ? oya anak-anak sudah punya ?? dan masi banyak lagi pertanyaan sepontan yang tidak bisa aku jawab satu-satu dan sengaja memang aku diamkan.
obrolanku terus berjalan, setelah beberapa lama aku beramah tamah, pandanganku secara diam-diam melihat ke arah dalam dan sesekali aku memperhatikan beberapa ruangan. kamu mencari apa On tanya Umi, saya mencari Yai kemana Yai Umi ? tanyaku, saat ku tanya wajahnya langsung meredup, 2 tahun lalu dia meninggalkan kami dan santri-santri disini, itulah juga penyebabnya Pondok ini sepi...., ah....aku benar-benar merasa bersalah, mengapa setelah mereka telah tiada aku baru kesana, berharap bisa meminta maaf dan cinta, sempat ada pesan darinya, sempat ada perintah darinya memanggilku untuk bersilaturahmi denganya namun lagi-lagi aku harus tertahan karena kondisi dan waktuku yang menurutku memang tidak bisa berkunjung kesana. Umi hanya memperlihatkan bingkai foto yang melekat erat di tembok rumah sederahana itu, begitu erat seperti eratnya cinta mereka. air mataku sempat berlinang saat melihat frame foto tersebut itulah sebuah kerinduan 20 tahun silam, tersimpan tak mampu keluar, tak mampu tersalurkan, tak mampu bersua. Guruku Yai itulah Kerinduan yang terpendam selama 20 tahun, kerinduan yang luar biasa, keriunduan yang teramat sangat, mereka mampu memberikan insipirasi, kekuatan, arahan, bimbingan dan arah jalan. bahkan saat ku dalam kebingbangan dan kebingungan ia mampu menuntunku dan berlahan melepaskanku saat dianggapnya sudah mampu berjalan.
Bait dan syair, harokat dan tajwid yang tiap hari mereka berikan, melekat erat di hati, nasehat dan analogi masa nabi terpatri dalam sanubari. Ia mata air jernih, menyegarkan, memberikan kekuatan. kemampuanku untuk melangkahkan kaki saat ini adalah sebuah dorongan kerindungan yang berkarat, namun kini mulai bersih dan serpihannya berlahan lepas jatuh kembali membersihkan kotorannya.
aku termenung didepan pusara guruku, melantunkan doa ditemani oleh sahabatku ka Tuba, ku harap bacaan asmaku menambahkan sedikit cahaya penerang untuk guruku, dengan harapan ada barokah hadir di kehidupan. air mata, senyum, kebahagiaan dan penyesalan memang ada, kini aku hanya bisa menyentuk halus batu alam yang menjadi rumah sederhananya. Pusara yang Maha Guru.
Maafku aku Guru...karena baru saat ini aku bisa menemuimu....
*sorogan : mengaji kitab kuning dengan cara satu-persatu santri mengantri dan membacakan serta mengartikannya langsung dihadapan guru
*kobong : adalah kamar santri, biasanya di huni 2 sampai 4 orang dalam satu kamar
*kapstok : tempat menggantung pakaian, yang dipasang atau ditempelkan ke tembok.
*Yai : adalah sebutan santri untuk guru kependekan dari Kiyai
KERINDUAN YANG TERPENDAM 20 TAHUN
Reviewed by Masyon
on
09.32
Rating:
Tidak ada komentar: